cari...

Wednesday, August 21, 2024

SAKRAMEN IMAMAT (Materi Pend Agama Katolik kelas IX - SMP Kanisius Wonogiri)

        Hidup dalam lembaga perkawinan atau berkeluarga pada umumnya lebih dipilih oleh banyak orang, meskipun dalam Gereja Katolik hidup berkeluarga bukanlah satu-satunya panggilan hidup. Masih ada panggilan hidup yang lainnya, yaitu panggilan hidup selibat. 

Pada zaman modern seperti sekarang ini, pilihan untuk menjadi seorang bruder, suster, dan imam cenderung sangat sulit dipahami. Tetapi kenyataannya, masih ada orang-orang yang menjalani panggilan Tuhan untuk hidup selibat, entah sebagai bruder, suster, atau imam. 

Panggilan hidup selibat merupakan panggilan hidup yang khas. Mereka memberikan hidup dan dirinya secara total kepada kepada Tuhan untuk menjadi partner-Nya dalam mewartakan Kerajaan Allah. Panggilan khusus untuk hidup selibat sebagai imam dalam Gereja Katolik dimeteraikan dalam Sakramen Imamat. 

Sakramen Imamat mengenal tiga tingkatan, yaitu: 

  1. Tahbisan Episkopat, yaitu tahbisan Uskup. Tahbisan Uskup ini merupakan Sakramen Imamat tertinggi atau keseluruhan pelayan suci. “Dengan Tabisan Uskup diberikan kepenuhan sakramen imamat, yakni yang dalam kebiasaan liturgi Gereja maupun melalui suara para Bapa Suci disebut imamat tertinggi, keseluruhan pelayan suci. Adapun dengan tahbisan Uskup diberikan tugas menyucikan, selain itu juga tugas mengajar dan membimbing.” (lih. LG 21). 

  2. Tahbisan Presbiterat, yaitu tahbisan untuk para imam. “Para imam, walaupun mereka tidak menerima puncak imamat, dan dalam melaksanakan kuasa mereka tergantung dari para Uskup. Namun mereka sama-sama imam seperti para Uskup dan berdasarkan sakramen tahbisan mereka ditahbiskan menurut citra Kristus, Imam Agung yang abadi, untuk mewartakan Injil serta menggembalakan Umat beriman, dan untuk merayakan ibadat ilahi, sebagai imam sejati Perjanjian Baru.” (lih. LG 28). 

  3. Tahbisan Diakonat, yaitu tahbisan untuk diakon. “Pada tingkat hirarki yang lebih rendah terdapat para diakon, yang ditumpangi tangan bukan untuk imamat, melainkan untuk pelayanan. Sebab dengan diteguhkan rahmat sakramental mereka mengabdikan diri kepada Umat Allah dalam perayaan liturgi, sabda dan amal kasih, dalam persekutuan dengan Uskup.” (lih. LG 29). 

Hanya Uskup yang berkuasa memberi pelayanan Sakramen Imamat dengan menumpangkan tangan dan mengucapkan doa-doa khusus sesuai tahbisan yang diberikan. 

Untuk menjadi seorang imam, seseorang tidak begitu saja bisa langsung diterima, dilantik, atau ditahbiskan menjadi imam. Ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang imam, antara lain: 

  1. Seorang pria normal yang telah menerima Sakramen Inisiasi. 

  2. Belum dan tidak akan beristri seumur hidup (bersedia hidup selibat). 

  3. Memiliki motivasi yang kuat menjadi imam. 

  4. Menyelesaikan pendidikan khusus di seminari menengah dan mempelajari filsafat, teologi, moral, dan hukum Gereja di seminari tinggi. 

  5. Memenuhi lima kriteria utama calon imam: Sanctitas (kekudusan), Sanitas (kesehatan), Scientia (pengetahuan), Sapientia (kebijaksanaan), dan Socialitas (kemasyarakatan/persaudaraan). Sehat secara jasmani dan rohani. 

Semua syarat tersebut untuk mendukung tugas-tugasnya sebagai imam. Seorang yang membaktikan hidupnya menjadi seorang imam harus siap secara total memberikan dirinya untuk meneruskan tugas Kristus sebagai imam, nabi, dan raja. Hidupnya tidak lagi berorientasi pada hal-hal duniawi. Seorang imam menjadi milik Allah dan milik Gereja. 

Imam dari suatu ordo atau kongregasi biasanya mengucapkan tiga kaul, yaitu kaul ketaatan, kaul kemiskinan, dan kaul kemurnian (selibat). Kaul ketaatan, seorang tertahbis harus bersedia taat kepada atasannya seperti Kristus taat kepada Bapa-Nya demi Kerajaan Allah (bdk. Yoh 4:34 dan Flp. 2:6). Kemurnian atau selibat, seorang tertahbis harus bersedia untuk tidak menikah seumur hidupnya demi pelayanannya secara total kepada Allah dan Gereja-Nya yang kudus (bdk. Mat 19:12). Kaul kemiskinan, seorang tertahbis harus bersedia melepaskan diri dari keterikatan terhadap barang-barang duniawi (bdk. Mat 6:20 dan Luk 9:58). Imam Diosesan (Imam Praja) tidak mengucapkan ketiga kaul tersebut, mereka hidup selibat dan mengucapkan janji ketaatan kepada Uskupnya. 

Dengan menerima Sakramen Imamat, para imam dimeteraikan sebagai wakil Kristus sehingga terdapatlah hubungan istimewa dengan-Nya. “…para imam, berkat pengurapan Roh Kudus, ditandai dengan meterai istimewa, dan dengan demikian dijadikan serupa dengan Kristus Sang Imam, sehingga mereka mampu bertindak dalam pribadi Kristus Kepala.” 

Hubungan imam dengan Kristus yang istimewa ini sangat nyata dan kelihatan dalam Perayaan Ekaristi yang merayakan sekaligus menghadirkan kembali kurban Kristus. Para imam bertindak atas nama Kristus sendiri. “Tetapi tugas suci mereka terutama mereka laksanakan dalam ibadat Ekaristi. Di situ mereka bertindak atas nama Kristus, dan dengan memaklumkan misteri-Nya mereka menggabungkan doa-doa umat beriman dengan korban Kepala mereka. Dalam kurban Misa, mereka menghadirkan serta menerapkan satu-satunya korban Perjanjian Baru, yakni kurban Kristus, yang satu kali mempersembahkan diri kepada Bapa sebagai korban tak bernoda.” (LG 28). 

Dengan martabat imamat, para imam juga mengambil bagian dalam imamat Kristus untuk menguduskan orang-orang dengan mengampuni dosa-dosanya dan menerimakan sakramen-sakramen lain serta mendoakan dan memberkati mereka. Mereka juga mengambil bagian dalam tugas-Nya sebagai nabi dan gembala dengan mewartakan Injil, memperjuangkan Kerajaan Allah, dan memimpin umat beriman. Begitulah para imam mewakili Kristus sebagai imam untuk menguduskan orang-orang, sebagai pengajar untuk mewartakan sabda Tuhan dan sebagai gembala umtuk membimbing dan mempersatukan umat Allah. 

Tugas para imam tersebut secara jelas tertuang dalam Kitab Hukum Kanonik 1008 yang berbunyi, “Dengan sakramen imamat yang diadakan oleh penetapan ilahi, seorang beriman diangkat menjadi pelayan-pelayan rohani dengan ditandai oleh meterai yang tak terhapuskan, yakni dikuduskan dan ditugaskan untuk selaku pribadi Kristus Sang Kepala, menurut tingkatan masing-masing, menggembalakan umat Allah, dengan melaksanakan tugas mengajar, menguduskan dan memimpin.” 

Dalam Katekismus Gereja katolik juga menegaskan tentang kedudukan dan tugas para imam. “Kristus sendiri hadir dalam pelayanan Gerejani dari imam yang ditahbiskan dalam Gereja-Nya sebagai Kepala Tubuh-Nya, Gembala kawananNya, Imam Agung kurban penebusan, dan Guru kebenaran. Gereja menyatakan ini dengan berkata bahwa seorang imam, berkat Sakramen Tahbisan, bertindak atas nama Kristus, Kepala.” (KGK 1548). 

Kutipan lainnya, “Oleh rahmat khusus dari Roh Kudus Sakramen ini membuat penerima serupa dengan Kristus, supaya ia sebagai alat Kristus melayani GerejaNya. Tahbisan memberi kuasa kepadanya, agar bertindak sebagai wakil Kristus, Kepala, dalam ketiga fungsi-Nya sebagai Imam, Nabi, dan Raja.” (KGK 1581). 

Karena itu, buah dari Sakramen Imamat adalah pencurahan Roh Kudus bagi calon imam dan menjadikan calon imam tersebut serupa dengan Kristus dalam tiga jabatan-Nya sebagai imam, nabi, dan raja sesuai dengan tingkatan tahbisan yang diterima. Pentahbisan memberikan meterai spiritual yang tidak dapat dihapuskan, dan karena itu tidak dapat diulangi atau diberikan untuk sementara waktu.